Temukan berbagai fakta kelam di balik kemegahan Zaman Renaisans yang jarang diketahui, mengungkap sisi gelap dari periode penuh prestasi seni dan ilmu pengetahuan ini.
Zaman Renaisans sering kali dikenang sebagai periode kemajuan besar dalam seni, ilmu pengetahuan, dan budaya yang membawa Eropa keluar dari kegelapan Abad Pertengahan.
Namun, di balik kemegahan dan pencapaian yang mengagumkan, terdapat berbagai fakta kelam yang jarang diketahui.
Artikel ini akan mengungkap 10 fakta kelam di balik kemegahan Zaman Renaisans, memperlihatkan sisi gelap dari era yang penuh kontradiksi ini.
Dari ketidaksetaraan sosial hingga konflik kekuasaan, simak berbagai aspek yang menunjukkan bahwa Zaman Renaisans tidak sepenuhnya seindah yang sering digambarkan.
1. Ancaman Bajak Laut Muslim di Laut Mediterania dan Atlantik
Selama abad-abad pertengahan, komunitas pesisir Mediterania dan Atlantik sering terganggu oleh aktivitas bajak laut dari Afrika Utara.
Kelompok bajak laut ini, terutama dari Maroko, sering menargetkan kapal dan pesisir Italia, Spanyol, dan Malta untuk menculik orang-orang yang kemudian dijual sebagai budak dalam pasar budak Ottoman.
Salah satu insiden yang paling mengejutkan terjadi pada tahun 1627, ketika bajak laut Maroko mencapai Islandia.
Dua tokoh terkenal dalam dunia perompakan adalah Hayreddin Barbarossa dan saudaranya Uruç Ali, yang dikenal karena keberanian mereka dalam merampok kapal-kapal Spanyol dan menyerang Italia Selatan.
Ironisnya, meskipun aktivitas mereka sebagian besar mengganggu Kerajaan-Kerajaan Kristen, Barbarossa berhasil mendapatkan dukungan dari Prancis Katolik yang saat itu menganggap Ottoman sebagai sekutu melawan Habsburg.
Menurut Simon Webb dalam bukunya “The Forgotten Slave Trade: The White European Slaves of Islam,” meskipun tawanan yang lebih kaya dapat menebus diri, banyak yang menjadi budak galai di angkatan laut Ottoman atau Eropa, dan nasib wanita yang ditangkap seringkali lebih tragis, dijual sebagai budak seksual atau menjadi bagian dari harem.
2. Dominasi Ottoman di Balkan dan Pengaruhnya
Setelah runtuhnya Kekuasaan Bizantium di Balkan, Ottoman mengisi kekosongan kekuasaan dan menegaskan dominasi mereka di kawasan tersebut.
Menurut sumber dari Boston College, Sultan Murad I mengimplementasikan sistem “pajak darah,” yang merupakan cara kejam namun efektif untuk mengamankan loyaltas dan membangun unit militer elitnya, yaitu janisari.
Setiap empat hingga lima tahun, keluarga Kristen di Balkan, Anatolia, dan Kaukasus harus menyerahkan satu anak laki-laki mereka, yang kemudian dipaksa masuk Islam dan dilatih untuk menjadi bagian dari janisari atau birokrasi Ottoman.
Meskipun janisari pada dasarnya adalah budak, mereka mendapatkan gaji dan perlakuan istimewa karena loyalitas utama mereka adalah kepada sultan.
Sistem ini, yang mengisolasi janisari dari keluarga asli mereka, menjadikan mereka kekuatan yang sangat efektif dan loyal hanya kepada sultan.
Pajak darah berakhir secara bertahap pada abad ke-18 ketika umat Islam mulai masuk ke janisari sebagai cara untuk maju dalam birokrasi kekaisaran.
3. Kekejaman Ottoman di Eropa
Edward Freeman, dalam bukunya “The Ottoman Power in Europe: Its Nature, Its Growth, and Its Decline,” mencatat reputasi kebrutalan Ottoman yang bertahan hingga zamannya, terutama dalam konteks Eropa Tengah dan Mediterania.
Misalnya, pada tahun 1480, tentara Ottoman melakukan pembantaian terhadap penduduk Otranto di Italia Selatan setelah mereka menolak masuk Islam.
Lebih lanjut, setelah penaklukan Famagusta di Siprus pada tahun 1571, tentara Ottoman tidak hanya membantai penduduk Kristen setelah kota itu menyerah, tetapi juga menghukum komandan Venesia, Marco Antonio Bragadin, dengan cara yang sangat brutal: memotong hidung dan telinganya, menyeretnya hidup-hidup di sekitar kota, dan akhirnya mengulitinya hidup-hidup sebelum mengirim kulitnya ke sultan sebagai trofi perang.
Kejadian-kejadian ini menegaskan reputasi kekejaman yang telah lama melekat pada kekuasaan Ottoman di kawasan Eropa.
4. Kebrutalan Tentara Bayaran Kristen di Eropa Renaissance
Selama periode Renaissance, sementara kekejaman Ottoman sering mendapatkan sorotan, kebrutalan oleh penguasa-penguasa Kristen di Eropa tidak kalah intens.
Privatisasi perang melalui penggunaan tentara bayaran, seperti condottieri Italia dan Landsknechte Jerman, memungkinkan kekejaman yang lebih luas dan kejam.
Alexander Lee dalam “The Ugly Renaissance: Sex, Greed, Violence and Depravity in an Age of Beauty” menggambarkan bagaimana condottieri menghindari pertarungan langsung dengan kota-kota berbenteng dan lebih memilih untuk membakar serta menjarah pedesaan yang lebih rentan.
Kekerasan dan kebrutalan ini menjadi karakteristik utama periode ini, membawa penderitaan dan kesengsaraan ke Italia utara dan tengah selama abad ke-15.
Kejadian yang mencerminkan bahaya yang disebabkan oleh tentara bayaran adalah penjarahan Roma pada tahun 1527 oleh 14.000 Landsknechte Protestan, sebuah episode yang simbolis dari kebrutalan tentara bayaran Renaissance.
5. Reformasi dan Perang Agama di Eropa
Eropa Renaissance tidak hanya diwarnai oleh invasi Ottoman dan perang yang tak henti-hentinya, tetapi juga oleh konflik agama yang dipicu oleh Reformasi.
Pada tahun 1521, Martin Luther, seorang biarawan Augustinian, memicu kontroversi besar dengan 95 Tesisnya yang menuduh Gereja Katolik melakukan korupsi parah.
Menurut catatan sejarah, Luther menolak untuk mencabut tuduhannya di depan Imperial Diet di Worms, yang mengarah pada serangkaian konflik berkelanjutan.
Frederick III dari Saxony, calon untuk takhta Kekaisaran Romawi Suci, melindungi Luther dengan menyembunyikannya, sekaligus menyatakan dukungan untuk Lutheranisme.
Sebagai Reformasi menyebar, banyak negara bagian di Jerman Utara dan Skandinavia beralih ke Protestanisme.
The American Interest mencatat bahwa Lutheranisme sering kali digunakan sebagai alasan untuk menyita tanah milik Gereja Katolik, meningkatkan kekayaan para penguasa dan memperkuat oposisi terhadap dominasi Habsburg.
Reformasi kemudian berkembang menjadi konflik yang lebih berorientasi politik daripada agama, memicu serangkaian perang yang berkepanjangan.
6. Supresi dan Toleransi Beragama Selama Periode Konflik
Pada tahun 1530, pengakuan resmi Lutheranisme di bawah Pengakuan Iman Augsburg menandai titik balik dalam dinamika agama di Eropa.
Tahun berikutnya, beberapa negara bagian seperti Sachsen dan Hesse membentuk Liga Schmalkalden untuk melawan upaya Kaisar Katolik Charles V yang berusaha memberantas Protestantisme.
Meskipun Liga Schmalkalden awalnya mengalami kekalahan di tangan Charles pada tahun 1546, pemberontakan kedua yang didukung oleh Prancis Katolik pada tahun 1552 berhasil menantang pasukan kekaisaran.
Perdamaian Augsburg pada tahun 1555 mengadopsi prinsip “cuius regio, eius religio”, yang mengizinkan penguasa untuk menentukan agama wilayah mereka, memberikan waktu bagi yang tidak setuju untuk pindah ke wilayah dengan kepercayaan yang serupa.
Meskipun ini dianggap sebagai langkah maju, penyelesaian ini tidak memperhitungkan kelompok-kelompok agama lain seperti Calvinisme, Zwinglisme, atau Huguenot Prancis, yang akhirnya menyebabkan ketidakstabilan lebih lanjut dan memicu konflik yang lebih besar seperti Perang Tiga Puluh Tahun.
7. Penyiksaan dan Hukuman terkait Masalah Penyihir
Reformasi membawa gelombang perburuan penyihir yang meluas ke Eropa Utara, berlangsung selama dua abad.
Gereja Katolik abad pertengahan tidak memiliki pandangan yang seragam mengenai ilmu sihir; beberapa dianggap sebagai takhayul dan kafir, sementara di lain waktu, sebagai serangan dari iblis.
Pada tahun 1486, Malleus Maleficarum (Hammer of Witches) ditulis oleh pendeta Katolik Heinrich Kramer, yang mengklaim bahwa ilmu sihir telah merajalela di seluruh Eropa dan harus ditangani secara hukum, dengan fokus khusus pada perempuan.
Iklim politik dan sosial yang tidak stabil di Eropa Tengah dan Utara, terutama di Jerman Selatan dan Kepulauan Inggris, memicu perburuan penyihir berskala besar, dengan ribuan orang disiksa dan dieksekusi meskipun banyak yang tidak bersalah.
Menurut Deutsche Welle, penyiksaan yang brutal—mulai dari larangan tidur hingga duduk di bangku panas membara—memaksa banyak korban mengaku karena kelelahan mental atau harapan lolos dari eksekusi.
Era Pencerahan dan munculnya Rasionalisme akhirnya mengurangi kepercayaan pada sihir di kalangan elit terpelajar, dan seiring waktu, praktik tersebut menghilang dan dihapus dari hukum pidana Eropa sekitar tahun 1750.
8. Diskriminasi terhadap Orang Yahudi
Orang Yahudi terjebak dalam konflik agama selama Renaissance. Pada tahun 1492, setelah Reconquista Spanyol selesai, orang Yahudi diusir dari Spanyol. Banyak yang melarikan diri ke Italia, tetapi mendapat respons yang beragam.
Paus Alexander VI, Rodrigo de Borja, menyambut orang Yahudi Spanyol ke Roma dan bahkan mendenda orang Yahudi lokal yang keberatan.
Namun, di Venesia, orang Yahudi dipindahkan ke ghetto. Meskipun orang Yahudi sering dianggap sebagai rentenir, bank-bank besar Italia seperti Monte Paschi di Siena dimiliki oleh orang Kristen.
Ketergantungan ekonomi pada pemberi pinjaman kecil membuat pengusiran orang Yahudi berdampak negatif terhadap ekonomi, sehingga banyak negara hanya membatasi, bukan mengusir mereka.
Di ghetto Romawi, yang didirikan pada tahun 1555, orang Yahudi menghadapi pembatasan pekerjaan, harus mengenakan pakaian khusus, dan terkadang dipaksa berpartisipasi dalam ritual Kristen.
Beberapa melarikan diri ke Kekaisaran Ottoman mencari kehidupan yang lebih baik, sementara yang lain bertahan di Roma hingga hari ini.
9. Lembaga Kepausan Ternodai oleh Politik dan Korupsi
Saat peperangan melanda Eropa Utara, korupsi merajalela di dalam lembaga kepausan, mencoreng reputasi institusi tersebut.
Negara-negara Italia yang kaya bersaing untuk pengaruh atas kepausan sebagai sarana untuk mendominasi Eropa Katolik secara politik.
Menurut Metropolitan Museum of Art, kepausan, meskipun bersifat politis, menjadi sangat sekuler selama Renaissance.
Keluarga-keluarga seperti Medici dari Florence dan Borgia dari Aragon memegang kepausan dan memperkenalkan korupsi yang mencakup nepotisme dan penjualan indulgensi, yang menjadi salah satu pemicu Reformasi Protestan.
Misalnya, Paus Alexander VI, Rodrigo de Borja, memiliki empat anak dari gundik selama masa kepausannya dan mengangkat anaknya, Cesare, sebagai uskup agung Valencia di usia 17.
Korupsi semacam ini menarik perhatian reformator seperti Martin Luther dan Erasmus dari Rotterdam, yang menentang keras tindakan kepausan yang tidak bermoral.
10. Kerusakan Gigi sebagai Tanda Kebangsawanan
Kerusakan gigi selama Renaissance dianggap sebagai simbol status sosial dan kekayaan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh konsumsi gula yang meningkat setelah Pertukaran Kolombia memperkenalkan produk baru dari Amerika.
Gula, yang menjadi simbol kemewahan dan status, digunakan luas di kalangan atas Eropa tetapi berakibat buruk pada kesehatan gigi. Ratu Elizabeth I dari Inggris adalah salah satu tokoh yang mengalami kerusakan gigi parah.
Dalam masyarakat, terutama di kalangan wanita kelas bawah di Inggris, terdapat praktik mewarnai gigi menjadi hitam untuk meniru tampilan busuk yang dianggap menarik dan merupakan simbol status kebangsawanan.
Kondisi ini, walaupun tidak menyenangkan secara estetika, mencerminkan ironi sosial di balik kemewahan zaman Renaissance.
Meskipun Zaman Renaisans dikenang karena pencapaian luar biasa dalam berbagai bidang, penting untuk mengenali bahwa era ini juga memiliki sisi gelap yang signifikan.
Dengan mengetahui 10 fakta kelam di balik kemegahan Zaman Renaisans, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan seimbang tentang periode ini.
Semoga artikel ini memberikan wawasan baru dan mendorong refleksi kritis tentang sejarah. Teruslah mengeksplorasi dan belajar dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik.