Masjid Tua Palopo berdiri sejak abad ke-17, menyatukan akulturasi budaya Bugis, Jawa, Tiongkok, dan Islam, menjadikannya warisan arsitektur yang memukau di Sulawesi Selatan.
Masjid Tua Palopo bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol bersejarah yang sangat penting di Sulawesi Selatan. Didirikan pada tahun 1615, masjid ini merupakan masjid pertama di wilayah ini dan erat kaitannya dengan masa kejayaan Kerajaan Luwu.
Berdiri kokoh selama lebih dari empat abad, Masjid Jami’ Tua Palopo memiliki nilai sejarah yang tinggi serta menyimpan cerita tentang penyebaran agama Islam di tanah Sulawesi.
Masjid Tua Palopo terletak di Kota Palopo, sebuah kota yang dulunya merupakan ibu kota Kerajaan Luwu.
Nama Palopo sendiri berasal dari bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua makna, yaitu “palopo” sebagai hidangan khas yang terbuat dari nasi ketan dan air gula, serta “palopo” yang berarti proses memasukkan pasak ke dalam tiang bangunan, merujuk pada teknik konstruksi masjid ini.
Mengenal Sejarah Masjid Tua Palopo
Masjid ini dibangun saat Datu Luwu, La Pattiware, memeluk agama Islam. Pada masa itu, Datu Luwu bergelar Sultan Muhammad Waliyyul Mudharuddin dan memindahkan ibu kota kerajaan ke Palopo pada tahun 1610.
Di bawah pemerintahannya, dakwah Islam berkembang pesat, dan Masjid Tua Palopo menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.
Masjid ini tidak hanya memiliki nilai keagamaan, tetapi juga menjadi saksi perjalanan sejarah Kerajaan Luwu yang beralih dari pemerintahan adat ke pemerintahan berbasis Islam.
Wisata Palopo Terbaru ini juga menjadi pusat kegiatan masyarakat setempat dan tempat berkumpul untuk beribadah hingga saat ini.
Daya Tarik Arsitektur Masjid Tua Palopo
1. Arsitektur yang Unik dan Bersejarah
Keunikan arsitektur Masjid Tua Palopo terlihat dari bentuk segi empatnya yang sederhana namun sarat makna.
Bangunan ini berukuran 15×15 meter dan terbuat dari batu andesit, bahan konstruksi yang sangat jarang digunakan pada bangunan masjid di Indonesia.
idak seperti banyak masjid lainnya, Masjid Tua Palopo tidak dibangun di atas tiang kolong, tetapi berdiri langsung di atas tanah. Struktur ini mencerminkan pengaruh budaya Jawa, Bugis, dan Tiongkok yang saling berakulturasi.
2. Atap Tumpang Tiga yang Sarat Makna
Salah satu elemen paling mencolok dari Masjid Tua Palopo adalah atapnya yang berbentuk tumpang tiga, mirip dengan rumah adat Jawa, yaitu joglo.
Atap bertumpang tiga ini memiliki makna yang dalam, yaitu melambangkan tiga prinsip utama dalam Islam: Iman, Islam, dan Ihsan.
Tumpukan atap ini juga menonjolkan gaya arsitektur kuno yang mencerminkan akulturasi antara budaya lokal dan pengaruh luar.
3. Mihrab dan Mimbar yang Penuh Detail Artistik
Di bagian depan masjid, terdapat mihrab yang berbentuk seperti ladam kuda dengan tinggi 1,92 meter dan lebar 1,02 meter.
Bentuk ini juga ditemukan pada pintu masuk makam para raja Luwu, menandakan kesamaan dalam desain arsitektur kerajaan dan masjid. Selain itu, di sebelah mihrab terdapat mimbar kayu berwarna merah hati dengan ukiran yang indah.
Mimbar ini memiliki enam anak tangga dan dihiasi dengan ornamen paduraksa, motif yang sering ditemukan dalam budaya Hindu-Buddha.
4. Jendela dan Filosofi Religius
Masjid Tua Palopo memiliki 20 jendela, dengan 7 jendela di sisi utara dan selatan, serta 6 di sisi timur. Uniknya, sisi barat tidak memiliki jendela, melainkan ventilasi udara dengan 12 lubang.
Filosofi di balik jumlah jendela dan ventilasi ini sangat terkait dengan ajaran Islam. 20 jendela melambangkan 20 sifat wajib Allah, sementara 6 jendela di sisi timur melambangkan 6 rukun iman.
5. Tiang Utama yang Dianggap Sakral
Di dalam masjid, terdapat tiang utama yang disebut soko guru dengan tinggi 8,5 meter dan diameter 1 meter. Tiang ini terbuat dari kayu lokal yang disebut “cina gori” dan dianggap sangat sakral oleh masyarakat.
Bahkan, saking sakralnya, tiang ini sering kali diambil potongannya oleh masyarakat sebagai jimat hingga akhirnya pemerintah setempat melindunginya dengan kaca untuk menjaga keutuhannya.
6. Teknik Konstruksi dengan Putih Telur
Salah satu teknik konstruksi yang unik dari Masjid Tua Palopo adalah penggunaan putih telur sebagai bahan perekat batu-batu andesit yang menyusun dindingnya.
Teknik ini tidak hanya membuat bangunan kokoh, tetapi juga melambangkan kebersamaan dan persatuan masyarakat Palopo dalam membangun masjid ini.
Nilai Sejarah dan Akulturasi Budaya
Masjid Tua Palopo adalah contoh nyata dari akulturasi budaya yang harmonis. Desainnya menggabungkan unsur-unsur dari berbagai budaya, termasuk Bugis, Jawa, Islam, Hindu, dan Tiongkok.
Hal ini terlihat jelas dari atap bertumpang, ukiran pada mimbar, hingga bentuk pintu yang menyerupai sayap burung. Akulturasi ini menunjukkan toleransi dan penerimaan terhadap keberagaman, sebuah pesan yang penting dari ajaran Islam.
Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid ini juga menjadi tempat belajar agama dan pusat kegiatan masyarakat. Hingga saat ini, Masjid Tua Palopo tetap digunakan oleh warga setempat dan sering menjadi destinasi wisata religi bagi pengunjung dari berbagai daerah.
Baca Juga: Tempat Wisata di Parepare, dari Pesona Alam Hingga Situs Sejarah
Lokasi Masjid Tua Palopo
Masjid Tua Palopo terletak di pusat kota, tepat di dekat Istana Kerajaan Luwu. Pada masa lalu, raja Luwu memerintahkan agar masjid ini dibangun dekat dengan istana agar mudah diakses oleh keluarga kerajaan dan masyarakat.
Lokasinya yang strategis memudahkan pengunjung untuk menikmati sekaligus mempelajari sejarah Kerajaan Luwu.
Masjid Tua Palopo tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan simbol akulturasi budaya yang harmonis.
Dengan arsitektur yang unik dan sarat filosofi, masjid ini menawarkan pengalaman yang tidak hanya religius, tetapi juga edukatif.
Bagi Anda yang berkunjung ke Sulawesi Selatan, Masjid Tua Palopo adalah destinasi yang wajib dikunjungi untuk memahami lebih dalam sejarah dan keindahan budaya lokal.